Apapun bentuk dasar negara yang dipakai oleh suatu negara tidak akan bernilai apa-apa tanpa ditindaklanjuti dengan penerapan dan pengamalan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik oleh rakyat maupun oleh para penyelenggara negara. Tidak adanya kemauan menerapkan dan mengamalkan secara sungguh-sungguh dan konsisten, akan menghasilkan apatisme di kalangan masyarakat terhadap nilai-nilai dasar negara tersebut. (Usiono, 2012:114).
Sejak dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah bahkan Perguruan Tinggi peserta didik di Indonesia menerima pelajaran terkait dengan Pancasila sebagai dasar negara, materinya tetap sama Pancasila terdiri dari lima yakni Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah dan Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ketika anak Taman Kanak Kanak kita sudah dikenalkan lambang Burung Garuda sebagai simbol negara, yang dalam pemahaman kita ada gambar burung besar warna warni adalah simbol di dadanya.
Ketika Sekolah Dasar kita dipahamkan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang harus dihapal luar kepala, bahkan sampai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sampai di Sekolah Menengah tetap Pancasila kita diajak bersejarah bagaimana BPUPKI meluruskan dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.
Sampailah di Perguruan Tinggi kita tetap disuguhi Pancasila sebagai dasar negara yang memiliki makna baik sebagai simbol, nilai maupun ideologi untuk seluruh rakyat Indonesia.
Hanya saja ketika program magister dan program doktor kita tidak lagi menemukan mata kuliah Pancasila sebagai SKS Wajib bagi seluruh mahasiswanya, kecuali pada program studi Pendidikan Kewarganegaraan.
Ternyata ada yang sama yakni Pancasila, ada yang berbeda, cara menguraikan materi, kedalaman sampai pada bagaimana membelajarkannya bagi peserta didik.
Secara formal itulah materi yang terus menerus dipertahankan, dievaluasi dan dikembangkan agar warga negara Republik Indonesia memiliki jiwa Pancasilais.
Walaupun belum ada penelitian atau belum ditemukan hubungan antara lamanya belajar tentang Pancasila dengan tingkat Pancasilaisnya jiwa seseorang.
Sebagian orang tua kita mungkin saja tidak tamat SD, tetapi suri tauladan mereka berikan kepada anak-anaknya generasi kita hari ini. Generasi yang mengalami penataran P4 kini adalah para pejabat negara, bisa saja sebagian telah menjalankan nilai-nilai Pancasila secara konsisten.
Tetapi bukan tidak mungkin generasi milenial yang lebih mengenal Pancasila dalam berbagai perspektif justru sulit kita menghubungkan antara jiwa Pancasilais dengan kejujuran yang ditunjukkan.
Benarlah bila seorang Usiono memberi statemen bahwa bisa saja bila tidak adanya kemauan menerapkan dan mengamalkan secara sungguh-sungguh dan konsisten, akan menghasilkan apatisme di kalangan masyarakat terhadap nilai-nilai dasar negara tersebut.
Ini artinya Pancasila pada diri seseorang sangat rentan dengan pelayanan yang diberikan oleh negara kepadanya sebagai warga negara.
Betapa tidak, bila memang benar bahwa baik oleh rakyat maupun oleh para penyelenggara negara Pancasila tidak lagi dijadikan tolok ukur ke-warganegara-an, maka logika awal yang ditulis oleh Usiono dapat disetujui.
Akhirnya kita harus menyetujui bahwa; apapun bentuk dasar negara yang dipakai oleh suatu negara tidak akan bernilai apa-apa tanpa ditindaklanjuti dengan penerapan dan pengamalan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Itulah Pancasila sebagai dasar negara, itulah kita sebagai warga negara Indonesia, itulah pendidikan yang telah memberi dan menyampaikan formalnya sebuah Pancasila.
Kini bagi insan pendidikan, perlu mengawali diri dengan kejujuran, apakah pelajaran selama 16 tahun tentang Pancasila yang 36 butir tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita? Jawabannya bukan di sekolah, tetapi dari bangun pagi sampai tidur lagi.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.