Menulis buku tentang pendidikan itu mudah. Membuat kurikulum kendati membutuhkan wawasan, keahlian dan pengetahuan yang luas itu terbilang mudah. Namun itu semua akan tetap menjadi tinta di atas kertas sepanjang tidak berubah menjadi fakta yang nyata dan bergerak di atas bumi yang nyata. (Farid, 2012:426).
Tulislah apa yang kamu perbuat, perbuatlah apa yang kamu tuliskan. Menulis memang satu keterampilan, sampai kebiasaan bahkan menjadi satu keahlian, bukan saja didukung bakat, tetapi kadang tuntutan justru membuat orang menjadi penulis handal.
Menulis bisa menjadi profesi, bahkan keahlian menulis perlu dipelajari, banyak ahli menawarkan bagaimana tips menjadi penulis, berbanding sama dengan banyak pula para pemula ingin mencari inspirasi bagaimana ia dapat mengembangkan bakat menjadi penulis.
Para pendidik dalam profesinya tidak dapat dipisahkan dengan menulis, bahkan seorang guru besar ia harus menulis dalam hal ini dikaitkan dengan keilmuannya ia harus menyampaikan ide lewat tulisan.
Bahkan kadang tujuan tulisan sedikit terhambat karena protokoler format tulisan yang berubah, bahkan lebih adminstratif dari pada makna akademis.
Harus menulis di rumah jurnal inilah, itulah, bahkan standarnya harus terinkeslah, bukan tidak sedikit hal ini mengurangi makna apa yang ditulis, apalagi apa yang mau dituju.
Alih-alih mendapatkan tulisan yang baik, dari jenis huruf sampai peraturan paragraf bahkan tema selalu menjebak para penulisnya. Platfom atau rumah tempat menulis ingin menunjukkan kualitas dengan berbagai kriteria yang tinggi dan ketat, maka menantang siapa yang mampu menerobos itu berarti tulisannya hebat, belum tentu…
Sekali lagi boro-boro tulisan mencapai tujuannya, karena alasan format, maka apa yang ditulis kadang dilupakan bahkan diabaikan demi masuk ke rumah jurnal.
Akhirnya benarlah bila tulisan hanya sebatas tulisan, menulis kalimat itu mudah karena hanya menyampaikan satu pesan. Menyusun paragraf itu tidak ada masalah karena merangkai beberapa kalimat, sampailah menulis sebuah buku itu bisa saja, karera penerbit banyak menunggu untuk kerja sama.
Kini tinggal penulisnya apakah ia bertahan dalam alur logika tulisannya untuk menyampaikan sesuatu atau untuk syarat administratif mempertahankan status.
Memulai menulis itu paling mudah adalah mencatatkan daftar riwayat hidup kita sendiri, sejak lahir sampai hari ini, kemudian dirangkai, dibumbu-bumbui dan diberi tema-tema, akhirnya menjadi rangkaian sebuah cerita.
Atau ketika kita jenuh tak ada lagi mau diperbuat dengan tulisan, silahkan ulangi lagi tulis lagi apa yang baru saja kita alami, kemudian apa yang kita ingini, dan harapan apa yang mungkin akan kita capai. Beri sedikit catatan-catatan kecil, akhirnya jadi juga sebuah tulisan sebagai sebuah narasi ilmiah atau tidak itu soal nanti.
Percaya atau tidak, banyak orang membuat jadwal kapan saat menulis kapan pula ia harus membaca, tetapi pada bukti yang lain orang yang akan menyelesaikan studi baik menulis skripsi, tesis maupun disertasi tidak ada rumus paling pas dapat diberikan pada orang lain.
Kapan mau menulis adalah saat ada kemauan, bahkan ide bisa saja muncul ketika di “kamar mandi”. Apakah ingin diteruskan menjadi tulisan, maka tinggal komitmen apakah tetap ingin jadi penulis atau sekadar menyelesaikan tugas.
Kita tidak dihadapkan dengan dua pilihan menulis untuk standar administrasi, atau menulis untuk menyampaikan sesuatu. Yang pasti menulislah dari lubuk hati yang dalam, karena tulisan yang baik adalah yang dapat dibaca oleh orang lain, dinikmati diri sendiri, dan diwariskan untuk peradaban.
Bukankah sejarah dimulai sejak manusia mengenal tulisan, bila tulisan kita tinggalkan mungkin kita yang akan menutup lembaran sejarah itu sendiri.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.