Interaksi sosial merupakan suatu kebutuhan bagi setiap orang baik dalam suku bangsa (lingkup mikro) maupun bangsa (lingkup makro). Bahasa sebagai identitas kelompok sangat tertutup terhadap nilai-nilai budaya yang harus diperhatikan oleh pengguna bahasa. Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif diperoleh bahwa terdapat tiga nilai Modalitas Deontik dalam Bahasa Angkola: 1) Derajat tinggi: ulang (jangan/tidak), musti/musti akkon (harus), tarpaksa (telah/harus), 2) Derajat median : akkon (harus), 3) Derajat rendah: tola (boleh), na tola, inda tola (tidak boleh), izin /izitkon (boleh), na diizitkon (tidak boleh), inda bisa/na bisa (tidak boleh), dipatola/inda dipatola (boleh/tidak boleh) dan paritikel sebagai penanda modalitas: da, ma, mada. (Muhammad, 2018).
Hampir 80 % waktu kesadaran kita adalah untuk berinteraksi, khususnya berinteraksi dengan orang. Dari interaksi inilah lahir komunikasi, salah satunya menggunakan simbol verbal yakni bahasa, maka bahasa adalah alat utama dalam berkomunikasi.
Siapa saja yang akan kita jumpai ketika berkomunikasi maka yang paling dekat adalah anggota keluarga, masyarakat, dan secara formal bisa di sekolah, kantor atau tempat ibadah.
Komunikasi berlangsung sepanjang kita di sana, bahkan sebelum dan sesudahnya pun kita tetap memperhatikan bagaimana harus berkomunikasi dengan mereka.
Contoh sebelum yakni kita sudah memberi salam untuk menjumpai orang yang berpapasan, sesudah kita tetap mengucapkan terima kasih kepada mereka, bahkan di luar itu kita mendoakan, atau berbagi kabar tentang keadaan kita.
Siapa berjumpa dengan siapa, di kelompok mana kita akan bicara, atau bahkan bagaimana kita memulai bicara. Ternyata ada aturan yang secara tidak disengaja menjadi bagian dari perkembangan cara orang berbicara.
Jadi jelas komunikasi membawa budaya, tetapi lebih tegas lagi komunikasi memelihara budaya. Kita bahkan boleh mencatat hanya orang yang berbudaya tinggi yang memiliki gaya komunikasi terbaik.
Muhammad Dalimunthe dengan kehati-hatiannya mencoba menerawang lebih jauh, apa yang terjadi selama ini dalam pola komunikasi bahwa terdapat tiga nilai Modalitas Deontik dalam Bahasa Angkola: 1) Derajat tinggi, 2) Derajat median, dan 3) Derajat rendah.
Tentu ketiga nilai ini adalah kemasan yang ditaksonomi menjadi bagian dari tata kelola yang baik, yakni siapa yang harus menyampaikan, kepada siapa kita menyampaikan, dan pada konteks apa kita harus disampaikan.
Namun yang lebih utama dari itu adalah; tiga nilai ini bukan menstratifikasikan masyarakat secara permanen. Tidak ada strata masyarakat Angkola yang berada pada derajat tinggi selamanya, begitu juga median juga rendah seumur hidup. Siapa saja bisa berubah, maka siapa saja berhak untuk melakukan komunikasi dengan sebaik-baiknya.
Masyarakat Angkola yang memiliki nilai budaya tinggi di lingkungannya bukan saja menjaga derajat tinggi dalam memelihara adat, tetapi mereka sangat sensitif bila dengan bahasa orang mempermainkan pribadi.
Sekali lagi Muhammad sebagai peneliti telah memberi cakrawala yang sangat baik kepada kita, benarlah bahwa dengan bahasa kita akan menemukan identitas kelompok sangat tertutup terhadap nilai-nilai budaya yang harus diperhatikan oleh pengguna bahasa. Itu sangat penting, kita hargai dan kita hormati tentunya.
Dan akhirnya kita setuju interaksi sosial merupakan suatu kebutuhan bagi setiap orang baik dalam suku bangsa (lingkup mikro) maupun bangsa (lingkup makro).
Angkola siap untuk go internasonal berinteraksi dengan budaya yang lebih luas, tetapi ia tetap menjaga nilai keluhuran budaya. Sungguh itulah Angkola yang sebenarnya.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.