Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Alkisah seorang alumni Fakultas Tarbiyah sarjana pendidikan siap mengajar, mendidik atau abdi negara. Setelah wisuda tahun pertama menunggu pengumuman pemerintah dibuka calon pegawai negeri sipil, dicari info dan slot keahlian, maka Pak Marmuj pun mendaftar, hasilnya, tidak lulus.
Sambil menunggu tahun kedua mengerjakan apa saja pun jadi yang penting tidak pulang kampung malu sama tetangga, “sarjana kok pulang kembali ke desa” pikirnya.
Sampailah tahun kedua pengumuman penerimaan, Pak Marmuj mencoba keberuntungan yang kedua, hasilnya tidak lulus juga. Pak Marmuj mulai gelisah, mencari cara bagaimana supaya lulus, umur bertambah, kesempatan semakin berkurang sementara persaingan semakin banyak.
Sampailah tahun ketiga, keputusan Pak Marmuj mencoba kesempatan mendaftar CPNS di daerah Provinsi Nanggro Aceh Darussalam. Hasilnya, lulus. Alhamdulillah.
Guru di satuan pendidikan setingkat Sekolah Dasar adalah sebuah kebanggaan, seragam pendidik dipakai setiap kerja, terpanggil pak guru disapa oleh siapa saja dari rumah sampai sekolah. Sungguh Impian Pak Marmuj terwujud walau di daerah lain.
Tahun pertama sebagai guru baru, maka Pak Marmuj diberi tugas mengajar kelas satu. Dalam hati Pak Marmuj apakah ini plonco, atau memang begitu tradisi, atau justru hanya random saja.
Tak ada masalah, ia mengajar dengan gagah berani, walau di negeri orang, tetapi ilmu pendidikan yang ia dapatkan mulai diterapkan, mengenal nama-nama anak itulah yang utama.Satu tahun pelajaran berlalu, semua administrasi pendidikan dapat diselesaikan dengan baik, sampailah ke akhir semester genap.
Tahun kedua sebagai guru yang masih dianggap baru, hasil evaluasi kepala sekolah Pak Marmuj dianggap mampu, maka ia dipindah mengajar kelas dua. Apa yang ada di hati Pak Marmuj, mungkin ini adalah tantangan, saya diberi kelas yang lebih tinggi.
Pembelajaran dilakukan sesuai dengan kurikulum, Pak Marmuj semakin kenal semua nama anak, bahkan tempat tinggal mereka. Keakraban anak dengan guru menjadikan Pak Marmuj menyatu dalam kelas.
Tahun ketiga kepala sekolah berganti Pak Marmuj yang telah mengajar dua tahun kemudian dinaikan untuk mengajar di kelas tiga. Semakin semangat Pak Marmuj mengajar, ia bukan saja mengenal nama dan tempat tinggal anak, bahkan pekerjaan orang tua merekapun sudah paham, apalagi anak yang selalu terlambat masuk. Walaupun nama anak muridnya tidak ada yang bertambah untuk dikenal.
Begitulah sampai tahun keenam, Kepala sekolah setelah menaikkan kelas yang diajar oleh Pak Marmuj setiap tahun berganti naik kelas, bapak Kepala Sekolah akan pindah tugas, dan Pak Marmuj di tahun ketujuh dipromosikan menjadi pengganti atau Kepala Sekolah.
Sungguh inikah karunia dari Tuhan atas kesabaran saya, atau ini mungkin anugerah yang harus saya syukuri, Pak Marmuj melanjutkan kehidupannya semakin sukses di negeri orang.
Semua berkas telah dilengkapi, kelengkapan administrasi telah diteliti, tinggal menunggu SK dari Dinas Pendidikan.
Di awal tahun 1990-an terjadi gejolak di Nanggro Aceh Darussalam, semua pekerja, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengalami beberapa masalah. Maka jalan terbaik bagi beberapa saudara kita yang berasal dari Sumatera Utara eksodus atau kembali beramai-ramai pulang ke Medan.
Hal ini dilakukan karena alasan ketidaknyamanan untuk bertahan. Pak Marmuj pun pindah pulang ke Medan tepatnya dipinggir kota, untuk tetap dapat mengajar di satuan pendidikan setingkat SD.
Kehidupan Pak Marmuj sungguh berubah 182 derajat, selama ini riang gembira, kini ia jauh dari bercanda, setiap mengajar ia selalu ceria kini di depan siswa ia lebih banyak diam seribu bahasa.
Sebagai guru baru Pak Marmuj di tempatkan untuk mengajar kelas empat, terbayang beliau ketika mengajar di Nanggro Aceh, semua murid sudah kenal dan akrab, sementara kini ia harus memulai lagi dari awal.
Hari pertama mengajar Pak Marmuj semangat di jam pertama, namun begitu pukul sembilan pagi murid keluar satu membawa tas dan pulang, keluar satu membawa tas dan pulang, dan akhirnya keluar semua, Pak Marmuj pun pulang.
Hari kedua, seperti tidak ada masalah Pak Marmuj mengajar sebagaimana roster yang diberikan, namun sama halnya, pukul sembilan murid satu keluar, dua keluar dan akhirnya semua pulang, Pak Marmuj pun pulang.
Keadaan ini diketahui oleh guru kelas sebelah, namun guru tersebut tidak menegur, hanya tanda tanya, ketika istirahat, guru kelas tiga kebetulan guru senior menyampaikan kejadian ini kepada Kepala Sekolah. Bahwa Pak Marmuj pulang sebelum waktunya.
Hari ketiga Pak Marmuj dan murid masuk seperti biasa, namun kepala sekolah mencoba mendekati kelas menjelang jam sembilan, di balik jendela kepala sekolah mencoba mendengar skenario pembelajaran apa yang terjadi di kelas.
Benar saja tepat pukul sembilan yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pak Marmuj menyampaikan pernyataan di depan kelas kepada seluruh siswanya:
“Siapa tahu boleh pulang!”Murid dengan serentak menjawab:“siap pak”
Pak Marmuj membuat soal:
“Naik bis Kurnia dari Medan ke Banda Aceh waktu tempuh 12 jam, harga tiket Rp.120.000,-
Semua anak hening memperhatikan pernyataan berikutnya.
“Lalu naik bis Anugrah dari Medan ke Lhokseumawe 6 jam, pertanyaan!”Semua anak serius mendengar pertanyaan:
Pak Marmuj mengajukan pertanyaan:
“Berapa umur saya?”
Semua siswa diam, semua saling berhadapan melihat teman kanan dan kiri, mengapa antara pernyataan dengan pertanyaan tidak nyambung, tetapi ada dua anak mencoba menjawab;
“60 pak”
Pak Marmuj serius menanggapi:
“darimana kamu tahu tahun 60”
Murid pertama mencoba menjelaskan:
“Karena 6 jam pak jadi logikanya 60”
Pak Marmuj sambil bergumam
“hampir tepat” “hemm apa wajah saya tampak sudah tua ya”
Murid kedua mencoba menjawab:
“18 jam pak”
Pak Marmuj menyela:
“hah umur saya 18 jam” (gerrrr. Sebagian siswa tertawa)
Tetapi murid mencoba menjelaskan dengan perhitungan:
“ karena 12 tambah 6 sama dengan 18 jam umur di perjalanan naik bis pak.
Pak Marmuj menanggapi:
“hampir tepat”
Kepala sekolah yang berdiri di luar menahan tertawa dan penasaran tetapi tidak masuk kelas.
Tampak dari sudut sebelah kanan seorang murid ketiga angkat tangan,
“maaf pak saya tahu jawabannya, tetapi bila saya jawab bapak jangan tersinggung
Pak Marmuj memberi semangat:
“mengapa mesti tersinggung, siapa tahu boleh pulang”
Murid ketiga menjawab dan memberi penjelasan dengan semangat tetapi sedikit cemas:
“pasti umur bapak 36 tahun.
“karena kakak saya di rumah setengah stress usianya 18.
Pak Marmuj diam sejenak, ia tertegun mengapa anak kelas empat telah memberi jawaban atas keadaanya hari ini dengan tepat.
Kepala sekolah tersipu, tidak disadarinya ia tertawa sendiri di balik jendela kelas empat sementara guru-guru di luar kelas lain melihat gelagatnya.
Kepala sekolah akhirnya menelusuri dan berdiskusi dengan guru senior di sekolah tersebut; akhirnya mendapatkan jawaban yang penuh hikmah.
Guru senior teringat buku Manajemen Stress yang ditulis Prof Dadang Hawari, bahwa stress harus dikenali gejala dan penyebabnya, maka dengan mudah kita akan menghindari atau mengatasinya.
Kemudian guru senior bertanya pada semua rekan guru: Anda tahu kenapa Pak Marmuj stress? Semua guru mencoba memberi penjelasan: mungkin karena tidak lulus CPNS dua kali, bisa saja karena tidak jadi kepala sekolah, atau boleh jadi karena kerusuhan di Nanggro Aceh Darussalam, semuanya mungkin saja.
Guru senior menjelaskan bahwa: Pak Marmuj stress adalah karena dia mengajar di Aceh selama enam tahun pada rombel yang sama atau murid yang sama sejak kelas satu sampai kelas enam.
Bayangkan enam tahun mengajar dengan materi berbeda, tetapi peserta didik sama membuat guru jenuh.
Kini Pak Marmuj sudah menyadari bahwa Tuhan pasti tidak membebani seseorang diluar kesanggupannya.
Tiga hal yang dapat kita ambil hikmah dari cerita ini:
Pertama, dalam mencari rezeki mungkin saja kita gagal atau belum berhasil, tetapi teruslah berusaha, mungkin saja kita harus pindah atau hijrah untuk menjemput takdir.
Kedua, untuk menghindari stress dalam pekerjaan maka selalulah berubah dalam kegiatan pembelajaran, hal rutin dilakukan pada tempat, dan obyek yang sama, maka formulasi harus selalu berganti-ganti, di sinilah ada yang disebut inovasi.
Ketiga, setiap kita memiliki kemampuan dan keterbatasan, tetapi Tuhan lebih mengerti saat kapan kita harus berusaha, ada saatnya berdoa, saat kapan pula kita harus ikhtiar.
Kita setuju berkolaborasi mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita bercari ibrah.
Catatan; kisah ini diinspirasi dari berbagai sumber.