Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Kehadiran teori dari para ilmuwan Muslim, baik mengenai sains Islam atau Islamisasi pengetahuan bukanlah tanpa alasan, melainkan rasa sedih yang mendalam melihat realitas saat ini, di mana umat Islam tidak menggunakan aspek metafisik, yang gaib dalam aktivitas ilmiah. Agama hanya dijadikan ritual semata, dan tidak boleh digunakan dalam ruang public. Adanya dikotomi sains dan agama disebabkan oleh berbagai macam faktor, diantaranya umat Islam oleh para ahli dikatakan mengalami masa kemunduran. (Salamudin, 2020:73).
Ketika umat Islam tidak menggunakan aspek metafisik dan gaib dalam kegiatan ilmiah maka agama pun dijadikan ritual semata di ruang kecil tanpa nilai.
Sungguh pernyataan ini miris, tetapi itu realitas apakah sejarah, hari ini dan mungkin saja pada diri kita dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pendidikan maka ditelusuri apa penyebabnya, apakah memang kurikulum, metodologi mengajar, atau para pendidik yang kehilangan orientasi, inilah catatan yang harus kita dalami lebih jauh.
Agama dipahami sebagai satu sistem maka mengandung banyak hal, unsur agama dari keimanan, keislaman, kebudayaan semuanya bagian penting, terlebih sejarah bagaimana orang pada zaman dahulu memaknai agama dalam kehidupan sehari hari.
Memang mempelelajari sejarah itu tidak ada habisnya, apalagi mencari ibrah untuk dipraktikkan dalam kehidupan saat ini.
Agama adalah ritual, seperti halnya shalat, puasa, zakat dan haji, sebagian kegiatan itu bersifat rutin dan normatif, benar sekali hanya sedikit ruang untuk berkreasi dalam membangun kebudayaan baru.
Jadi agama sebagai ritual sebagian besar adalah ranah dogma dan dengan itu pula warisan, pelestarian harus tetap terjaga.
Agama adalah sumber inspirasi, tidak jarang orang melakukan hal-hal di luar kebiasaan, dan memiliki irisan dengan keagamaan.
Sebagai contoh aqikah dilakukan dengan menyembelih hewan sesuai ketentuan, namun kemasan atas dasar simple, efektif, efisien dan entah apalagi, maka niat, pesan dan jadilah sate kambing terkirim ratusan tusuk kepada tetangga atau yang mustahak.
Hampir tidak ada yang protes terhadap hal ini, ruang kreativitas mendorong peradaban baru tentang kehidupan beragama.
Agama adalah kontrol terhadap kegiatan ilmiah, bila benar logika itu berbeda kapling dengan etika, memang itu sistematika filsafat, tetapi dalam dunia nyata, agama mendorong kita menggunakan logika dalam kehidupan sehari-hari.
Hanya saja pada tingkat titik klimaksnya dengan logika itu sendiri kita akan menemuka apa yang disebut metalogika sebagai dasar mengarungi dunia metafisika.
Jadi boleh saja kita mempelajari ontologi etika, logika dan estetika secara sistematis, tetapi pada titik tertentu sampai aksiologis semuanya bermuara pada kemaslahatan manusia.
Sampai di sini kita setuju bahwa metafisika dan kegaiban tetap kita hadirkan, namun langkah dan sistematika harus benar-benar dipahami secara baik.
Mungkin bukan materi atau kurikulum cara mengajarkannya, tetapi justru kreativitas para guru filsafat yang perlu mengadaptasi terhadap kondisi hari ini.
Setiap guru pasti berkesempatan untuk berfilsafat, saya tidak mau berfilsafat, maka saya bukan guru yang beruntung untuk satu kesempatan. Bila anda bingung, maka anda sudah satu langkah dalam berfilsafat.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.