Pak Marmuj guru di pinggir kota, di sore hari menyempatkan diri mengajar dan menjadi ustadz di pesantren yang kebetulan tidak jauh dari rumahnya.
Mengajar santri sungguh menyenangkan, mendidik mereka tetapi juga kadang malah Pak Marmuj belajar bersama santri, dan sesekali Pak Marmuj bahkan belajar kepada santri. Itulah guru tak ada berhentinya waktu untuk belajar, tidak ada batasnya untuk siapa harus belajar.
Suatu ketika menjelang Ramadhan Pak Marmuj memberi pengarahan kepada santri yang akan melakukan pengabdian kepada masyarakat, karena memang ini adalah bagian dari program pesantren untuk memberikan layanan bagi masyarakat sekitar.
Singkat cerita setiap santri berkelompok, mereka pada umumnya kelas tujuh, sebagian ada kelas enam tetapi ada juga satu santri kelas empat, ikut dalam kelompok tersebut.
Pak Marmuj memberi nasihat, “lakukanlah pengabdian dengan niat yang Ikhlas, membantu masyarakat, bahkan melayani mereka, namun yang lebih utama dari kegiatan pengabdian adalah kita belajar kepada mereka yakni masyarakat”. Santri serius mendengarkan seluruh pengarahan Pak Marmuj.
Pada hari yang ditentukan sekelompok santri binaan Pak Marmuj pun pamit, mereka berangkat ke masjid yang dituju sesuai dengan rencana. Lima hari yang ditetapkan oleh pesantren, akan dijalani dengan berbagai program seperti membangun BKM Masjid, mengajar mengaji, membersihkan halaman masjid dan lain sebagainya.
Tibalah saatnya salat Jumat di masjid.
Seorang khatib naik mimbar, beberapa ayat yang dibaca terkesan tidak tepat maghraz dan tilawahnya, tentu ini dari telinga para santri yang selama ini belajar bertahun-tahun di pesantren.
Di tengah khatib membaca khutbah dua orang santi saling memandang, sementara satu santri berbatuk dengan sengaja tanda protes atau menyampaikan kesalahan bacaan yang dilakukan khatib.
Sampailah pada khutbah yang kedua, khatib menyampaikan ayat juga dengan sedikit kesalahan, santri terbatuk lebih keras. Sebagian jemaah di masjid sedikit terganggu.
Setelah imam menyelesaikan shalat, doa bersama, dan akhirnya khatib akan pulang meninggalkan masjid.
Santri yang terbatuk tadi tidak sabar ketika khatib mengenakan sandal di halaman masjid, santri pun berkata keras:
Santri: “Wahai jemaah, sesungguhnya kami ini dari pesantren.. dan sudah belajar tentang maghraz huruf, beberapa bacaan ayat pada khutbah tadi banyak yang salah”.
Semua terperangah… khatib pun berbalik arah, tidak berkata apa-apa, namun seorang jamaah justru mendatangi santri, kemudian berkata;
“Kamu ini baru anak kemarin, belajar di pesantren baru jadi santri.Kau tahu khatib ini orang tua kami di kampung ini, beliau adalah panutan kami, tidak mungkin beliau salah”,
Santri lainpun kebingungan.
Apa yang terjadi, jemaah lain berbalik arah dan memukul santri, dengan sigap ketua BKM pun merelai dan menenangkan situasi, tiga pukulan sempat melayang ke pipi santri.
Sambil meninggalkan masjid terdengar sayup-sayup khatib berkata pada jamaah; “saya ini sudah senior tak mungkinlah salah dalam berkhutbah, sepanjang tahun jadwal saya penuh menjadi khatib, tidaklah ada kesalahan yang akan saya sampaikan lagi”.
Jemaah pun mengangguk pertanda membenarkan namun mungkin lebih kepada kesetujuan menghormati khatib.
Dari lima hari yang direncanakan akhirnya santri pulang hanya tiga hari berselang kemudian kembali ke pesantren tempat mereka belajar.
Sesampai di pesantren sedikit ketakutan akhirnya ketua kelompok santri melaporlah kejadian kepada Pak Marmuj.
Beberapa pekan setelah lebaran idul fitri, Pak Marmuj mengajak santri ke masjid dimana santri melakukan pengabdian.
Di kesempatan yang sama, pak khatib yang sama menyampaikan khutbah.
Inilah yang ditunggu-tunggu semoga Pak Marmuj dapat membalas kesombongan khatib, gumam salah seorang santri.
Khutbah pertama dimulai, sebagaimana biasa membaca doa dan nasihat, dan bacaan ayat Al Qur`an pun dilantunkan.
Santri menyampaikan dengan berbisik pada Pak Marmuj tentang kesalahan khatib, tetapi Pak Marmuj tak bergeming, hanya mengucapkan dengan suara pelan, sabar.
Khutbah pertama berlangsung sampai juga khutbah yang kedua, tetapi kali ini santri tidak berani berbatuk dengan sengaja, ia selalu dilirik oleh Pak Marmuj untuk tenang dan sabar.
Setelah shalat di mana khatib menjadi Imam shalat jum`at, sampailah saat dimana khatib keluar masjid akan mengenakan sandal.
Santri terburu ikut keluar, mungkin memang sudah tidak ada harapan Pak Marmuj yang selama ini adalah ustadz dengan bacaan yang diyakini benar, bisa saja memang khatib yang lebih benar. Santri pun pasrah dan mendekat Pak Marmuj ke mana arah langkah keluar masjid.
Di saat yang ditunggu apa yang terjadi kemudian……Pak Marmuj pun mecoba menyampaikan kepada jamaah yang masih berada di sekitar masjid.
Pak Marmuj: “Wahai jemaah masjid yang diridhai Allah,
Beruntung kita semua memiliki seorang wali Allah, seorang khatib yang baik, dan pandai menyampaikan khutbah. Khatib pun tersenyum dan memegang jenggot… sesaat berhenti melepaskan sandalnya.
Khatib: Terima kasih terima kasih” sambil melirik sinis ke santri yang selalu berbatuk ketika dia khutbah.
Pak Marmujpun meneruskan,
“Saudaraku, ketahuilah, di wajah WaliAllah ini tergambar penghuni sorga”.
Pak Marmujpun melanjutkan peringatannya:
“Wahai saudaraku, apakah anda tahu bahwa sehelai rambut jenggotnya adalah jembatan kita untuk mendapatkan pintu sorga. Barang siapa mampu mendapatkan sehelai jenggot, maka ia akan mendapatkan jalan menuju sorga Allah Swt”.
Tak sampai mengedipkan mata, seluruh jemaah pun mendekat dan mencabut jenggot khatib tak tersisa sehelaibpun, sampailah berdarah dan khatib pun bersimpuh ke bahu Pak Marmuj.
Pak Marmuj pun merangkul dan membisikkan sesuatu kepada khatib.
“Sampai kapan kau akan membohongi ummat”. Khatib: “aku minta maaf, selama ini tidak ada yang berani mengeiritik dan mengoreksi bacaanku, terima kasih Pak Marmuj”
Ketua BKM pun kebingungan, melihat Pak Marmuj dan Khatib saling merangkul, keduanya berpisah dengan saling bermaafan.
Setelah kembali ke pesantren
Ternyata yang protes dan dipukulli jemaah adalah santri masih kelas empat.
Beliau masih belajar banyak teori dan belum banyak praktik.
Maka belajar teori itu perlu dan praktik itu penting sejalan dan seiring.
Pak Marmuj dibdepan seluruh santri menjelaskan: “teori tanpa praktik itu sia-sia, praktik tanpa teori maka akan berkerja tanpa arah alias ngawur”
Sebagian santri buru-buru mencatat pernyataan Pak Marmuj, tetapi apa yang terjadi:
Pak Marmuj: “Jangan catat, camkan itu, dan selalu saling mengingatkan antara satu santri dengan santri lain”. Kini Pak Marmuj pun sadar ia bergegas karena besok pagi ia harus mengajar di sekolah seperti biasa.
Tiga hal hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah:
Pertama; belajar itu perlu sistematika, teori, praktik, teori praktik keduanya harus saling beriringan, namun yang utama adalah bimbingan seorang guru sebagai pendamping.
Kedua; mempraktikkan ilmu di masyarakat apapun judul kegiatan baik pengabdian maupun pelayanan, sesungguhnya kita adalah belajar dari mereka. Di tengah masyarakatlah terjadi sistem sosial, sistem ilmu, dari akar masalah, problematika sampai solusi, untuk itu lebih tepat kita belajar di masyarakat.
Ketiga; tidak ada orang yang paling pintar di dunia ini, di atas langit ada langit, walaupun kita sudah jadi ustadz, khatib ataupun muballiqh terkenal kita harus terus belajar.
Ketujuh kita setuju berkolaborasi mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita bercari ibrah.
Catatan; kisah ini diinspirasi dari berbagai sumber